Saya mau berbagi cerita karangan saya hehe... Cerita ini terinspirasi dari lagunya si pemeran Lude di Perahu Kertas. Pasti tahu kan? Siapa lagi kalau bukan si kalem Elyzia, judulnya Cinta Yang Tak Mungkin. Berawal dari ketergila-gilaan itulah (?) tercipta karya amatir ini... Saya cuma mau berbagi dan kalau bisa kasih kriti dan sarannya ya..
Jadi sekarang langsung saja, selamat membaca!!!
CINTA YANG TAK MUNGKIN
Kupejamkan mata ini
Ku tertidur tanpa lelap
Tapi ku bermimpi
Kau jadi milikku
Alunan lagu ini masih setia
menemaniku, tiap bait yang dilantunkan oleh Elyzia sangat pas dengan suasana
hatiku saat ini. Entahlah, aku tidak tahu mengapa lagu yang dijadikan salah
satu soundtrack Perahu Kertas ini begitu nyaman ditelingaku. Biasanya aku akan
langsung menutup telinga atau menjauh dari lagu yang mellow seperti ini, ini
berbeda.
Cintaku ini memang tak mungkin,
aku tak mungkin bisa memiliki dirinya. Dirinya yang adalah pacar dari kakak
sepupuku sendiri. Aku pun tak tahu kenapa pemuda itu bisa menarik hatiku,
menautku tanpa memberi balasan. Aku cukup senang bisa mengenalnya dan menjadi
salah satu orang yang dekat dengannya saat ini.
Setiap hari yang kulakukan
hanyalah memandangnya dari kejauhan, yang kulakukan hanyalah mengaguminya.
Ataupun menunggunya untuk menemuiku, untuk mendengarkan semua ceritanya.
Terkadang perasaan sesak menyerangku saat ia bercerita mengenai Ira, bercerita
tentang betapa ia bahagia bersama sepupuku itu. Ataupun meminta pendapat
mengenai kejutan yang akan diberikannya. Aku hanya bisa menyibukkan diriku
dengan membaca buku ketika ia mulai bercerita.
Kegiatan diluar kuliah kami yang
sama memudahkanku untuk bertemu dengannya. Untung saja Ira memiliki kegiatan
yang berbeda dari kami, itu memudahkanku untuk menutupi perasaanku. Namun
terkadang aku juga harus rela dijadikan tukang pos untuk mereka, memberikan
kado atau sekedar menyampaikan salam.
Suaramu tetap bernyanyi
Walau sadar ku kian tak ada
Namun ku bahagia lagumu milikku
Walaupun hanya sekedar pendengar
atau penyampai salamnya, aku bahagia menyadari bahwa ia membutuhkanku. Walaupun
hanya dianggapnya sebagai teman dan adik sepupu, aku senang bisa ada
didekatnya. Aku senang bisa turut andil dalam mengukir lengkungan di bibirnya.
Mendengar suaranya menjadi
keinginanku setiap harinya, saat ia bercerita itu terdengar seperti kicauan
burung di pagi hari yang membuatku semangat. Aku tahu ini terkesan berlebihan
tapi aku tidak berbohong. Terkadang ia juga tak segan bernyanyi di depanku
untuk menghiburku. Ira sungguh beruntung bisa memilikinya.
Aku masih ingat hari dimana ia
menceritakan bahwa ia menyukai Ira, bahkan ia berniat untuk menyatakan
perasaannya hari itu juga. Ia bercerita padaku dengan semangatnya yang disaat
bersamaan juga merasa gugup dan takut akan ditolak.
Hatiku hancur saat itu juga
hingga aku tidak bisa membendung air mataku untuk keluar. Aku benar-benar tidak
bisa menahannya, ia tumpah begitu saja. Dia bertanya mengapa aku tiba-tiba
menangis.
“Aku...aku bahagia Bagas, aku
terharu sahabatku akan bersama sepupuku” jawabku mencoba tersenyum. Aku tahu ia
sangat sanksi dengan jawabanku, namun aku terus tersenyum untuk meyakinkannya.
Dia ikut tersenyum lalu ia mulai bernyanyi, lagu yang akan ia persembahkan
untuk Ira. Ia bernyanyi dengan sungguh-sungguh, membuat air mataku tambah
membanjir. Menyadari bahwa lagu itu bukan untukku dan juga sudah tidak ada lagi
harapan untukku bisa bersamanya.
Indah senyumanmu
Tak kan bisa pudar
Makin indah dihatiku
Walau ku sadari...
Cinta yang tak mungkin jadi
Menyadari cintaku yang tak
mungkin memang sangat menyakitkan. Menyadari bahwa cinta ini tak kan pernah
berbalas. Dan menyadari bahwa senyumannya hanya untuk Ira, bukan untukku. Semua
yang dilakukannya adalah hanya untuk membuat Ira tersenyum. Kebenaran memang
benar-benar menyakitkan. Rasa sesak ini selalu memenuhi rongga dadaku,
mendorongku untuk mengeluarkan segalanya. Namun itu tak bisa kulakukan.
Yang hanya bisa dilakukan oleh
anak sastra sepertiku hanyalah menuangkan apa yang ia rasakan kedalam sebuah
karya. Yang hanya bisa kulakukan adalah menuangkan rasa sesak ini kedalam tulisan
yang membuatku menangis saat menulisnya dan juga menertawakan diriku sendiri
saat membaca hasil karyaku. Menertawakan kebodohanku tetap yang mencintai seseorang
yang telah menjadi milik orang lain, tertawa miris bahwa tulisan ini
kupersembahkan padanya.
Aku memang sudah gila,
benar-benar gila. Cinta benar-benar mempermainkan perasaanku. Seharusnya sejak
awal tak kubiarkan rasa ini tumbuh. Seharusnya tak kubiarkan perasaaan ini
singgah dihatiku. Dan seharusnya kuterima saja pernyataan cinta dari Dhamar,
teman sastraku. Seseorang yang benar-benar mencintaiku.
Jika saja waktu itu aku
menerimanya, mungkin saat ini aku sedang menikmati waktu tumbuhnya perasaanku
padanya. Mungkin saja Dhamar yang membuatkan tulisan cinta untukku. Bukan puisi
yang menyayat hati, bukan pula kisah tragedi cinta tapi sebuah cinta yang indah.
Dimana setiap ceritanya mampu membuat jantung berdegup hebat dan membangunkan
kupu-kupu didalam perutmu.
Namun seperti biasa penyesalan
selalu datang terakhir. Menyesali keputusanku untuk menolaknya untuk membiarkan
bibit cinta yang tak sengaja disemai Bagas tumbuh dengan lebatnya. Dan aku pun
menyesali takdir yang mempertemukanku dengan Bagas dalam kegiatanku diluar
kampus. Takdir ini malah menyiksaku dengan perasaan yang justru tumbuh setiap
harinya.
“Maafkan aku, Dhamar. Tapi aku
tak bisa”
Apapun yang kau ciptakan
Ku akan berjuang dapatkan
Jika kau bahagia
Aku semakin bahagia...
Hari-hari yang kulalui masih
sama, dengan kegiatan yang sama, suasana sama, dan hari yang sama. Namun ada
yang sedikit berbeda disini, Bagas menemuiku. Padahal jika dipikir fakultas
sastra dan psikologi saling bertolak belakang. Maksudku, gedung fakultas kami
saling membelakangi. Jika aku berada di utara, maka fakultas psikologi ada di
paling ujung selatan.
Hmm...kukira hari ini tidak ada
jadwal kegiatan luar kampus, lalu kenapa dia menemuiku. Kutanyakan hal itu
padanya dan ia hanya menjawab ingin berbicara denganku. Berbicara? Bukankah
bisa lewat telfon atau sekedar pesan singkat?
“Kamu lupa? Ah...Rena, kamu
benar-benar adik sepupu yang tidak baik”
“Apa hubungannya?” tanyaku jengkel
dengan penghinaannya. Jika aku adalah sepupu yang jahat maka sudah kurebut dari
dulu dirimu, cih.
“Hari ini, ulang tahunnya!” dia
memberi penjedaan sebelum menekankan kata ‘ulang tahunnya’. Aku masih bingung,
sungguh aku tidak tahu siapa yang dimaksud dengan ‘nya’. Dia hanya diam
menunggu reaksi ku, dapat kulihat ia sangat kesal dengan kelambatan koneksi
otakku. Entahlah.
Kembali kepersoalanku kawan, aku
masih menerka siapa yang dimaksud dengan ‘nya’. Aku mulai mengumpulkan daftar
nama teman dekat kami untuk ku analisis. Anif, tapi sepertinya kami baru saja
mengerjainya saat ulang tahunnya sebulan yang lalu. Dhamar, ayolah dia baru
berulang tahun di penghujung tahun ini. Dian, kurasa juga bukan.
Ah...sepertinya aku tahu yang
dimaksud pemuda ini. Tentu saja ia memanggilku adik sepupu yang tidak baik.
Pemuda itu mulai jengah menungguku, akhirnya ia mengucapkan nama itu tepat saat
aku membuka mulutku.
“Ira”
Dia tersenyum, terlihat jelas
dimatanya bahwa semakin hari ia semakin mencintai gadis itu. Dadaku kembali
sesak melihat mata yang begitu berbinar itu, terlihat semakin berbinar ketika
ia menyatakan ingin memberi kejutan Ira. Kenyataan memang selalu pahit,
melebihi pahitnya memakan daun sirih. Jika
daun sirih pahit, kenapa orang dulu suka sekali menyirih?
Indahnya wajahmu
Tak kan pernah sirna
Makin terang dihatiku
Walau kusadari
Cinta yang tak mungkin
jadi
Suasana canggung jelas sedang melingkupiku saat ini,
sungguh sangat mengganggu. Ah, kulihat dari ekor mataku pemuda itu sedang
mencuri-curi pandang padaku. Rasanya semakin tersudut saja. Aku mencoba
menikmati minuman yang sudah ku pesan untuk membunuh waktu dan menyingkirkan
selambu gelap bernama kikuk sambil menunggu Bagas, orang yang mengumpulkanku
bersama orang ini.
“Jadi hari ini Ira ulang tahun?”
Akhirnya ia membuka suara, sedikit terkejut karena aku
sedang berusaha memecah rasa minumanku. Mencoba memisah zat-zat rasa apa saja
yang ada pada cairan ini. Aku hanya mengangguk dan berdeham menjawab pertanyaan
itu sambil berusaha menelan cairan itu berat. Ia tersenyum dengan tatapan geli,
cih...aku menganggapnya sedang menertawakanku.
“Jadi, bulan depan kau sudah mulai mengerjakan skripsi?”
tanya Dhamar mencoba mencairkan suasana.
“Hm..kau juga”
“Kira-kira kau ingin mengambil tema apa?” dia bertanya
sambil menumpukan kedua tangannya di
meja. Menyamankan posisinya sambil menatapku.
“Entahlah, tentu saja tidak jauh dari sastra. Aku sendiri
berencana untuk menganalisis hubungan sastra dengan kehidupan masyarakat kita,
aku ingin pergi dari sini” aku sedikit menggumam saat mengucapkan kalimat
terakhir.
Dia hanya diam, seolah menyelami apa yang ada dibenakku.
“Pergi?”
“Hm..aku ingin mencari suasana baru untuk menulis
skripsiku sekaligus mencari ide untuk tema yang kuambil tadi” aku menggangguk
pasti.
“Bagaimana jika jogja, aku bisa menemanimu. Aku juga
ingin mendalami sastra jawa” aku hanya tersenyum menanggapinya.
Dhamar, pemuda itu meskipun sudah ku tolak ia tetap
bersikap biasa padaku. Tentu itu sangat berbanding terbalik denganku yang
selalu merasa canggung setiap berada didekatnya setelah kejadian yang mungkin
sempat meretakkan hatinya. Terkadang aku berpikir untuk melupakan Bagas dan
mengatakan pada Dhamar, apakah masih ada ruang dihatinya untukku singgah? Ah,
kalimat terakhir itu sangat menggelikan. Lalu aku membayangkan ia terdiam mencoba
mencerna kalimat yang kulontarkan padanya, lalu ia memelukku sambil berkata
“Selalu ada ruang dihatiku untukmu singgah, selalu.
Bahkan kau bisa tinggal disana selamanya”
Kalimat itu lebih terdengar aneh, inilah yang kusebut
keahlian anak sastra. Setiap kalimatnya selalu terdengar lebih dan berlebih,
melankolis. Lalu aku menangis karena terharu dengan jawaban pemuda keturunan
jawa tulen itu. Ah, yang benar saja.
Namun kenyataannya berbeda dengan bayanganku di atas.
Melupakan Bagas justru lebih menyiksa. Perasaan cinta itu justru semakin
mendarah daging. Ia justru terus berproduksi dan menghasilkan beribu hemoglobin
cinta, mengalirkannya ke seluruh tubuhku. Bagaimana bisa aku menghancurkan
hemoglobin itu?
Ah, dia baru saja hancur. Tak ku sangka akan semudah itu.
Hanya dengan mendengar suara pesan masuk dihanphoneku, bayanganku tentang
hemoglobin itu hancur. Ya, hanya bayangan.
“Ren, kamu harus segera kesini. Ira tiba-tiba datang ke
tempat latihan kita. Rencana berubah, cepatlah datang!!!”
Itulah isi pesan masuk yang sempat menghancurkan
bayanganku tadi. Dhamar melihatku.
“Rencana berubah Dhamar, ayo kita ke tempat latihan”
Pemuda itu hanya mengangguk makhfum. Ah, ini hanyalah
sebuah rencana kejutan ulang tahun tetapi kenapa aku merasa ini seperti rencana
untuk menangkap seorang teroris ataupun koruptor. Penuh pertimbangan. Ah,
teroris cinta.
Meski ku tak bisa
memiliki dirimu
Takkan ku berpaling
pergi (berpaling pergi)
Makin ku mencintai ku
lepas kau kekasih
Biar terbang tinggi
cinta yang tak mungkin
Terbang tinggi
Disinilah sekarang aku berdiri, terperangkap dalam
atmosfer yang benar-benar membuatku sulit bernafas. Tempat ini sama sekali tidak menunjukkan
fungsinya yang hakiki. Seharusnya ditempat seluas ini sangat cukup untuk
meniupkan hawa segar walaupun hanya sedikit.
Pemandangan yang selalu kuhindari sekarang dengan
agungnya terpampang di depanku. Bagas merangkul Ira, sebuah senyum bahagia
terlukis jelas di wajahnya setelah sempat mengerjai gadisnya. Sebuah kejutan
yang sangat umum namun bisa mengukir sebuah lengkungan pada bibir gadis itu.
Perlahan aku mundur dari posisiku, tentu saja
menghindarkan diri dari pemandangan itu. Namun baru selangkah aku mundur,
seseorang menahanku. Menggenggam tanganku dan dengan lancangnya mengaitkan jari
jemarinya ke dalam buku-buku tanganku.
“Mencoba menghindar?”
Dhamar tersenyum padaku, aku hanya diam. Entahlah, aku
tidak tahu harus berkata apa, lidahku kelu. Diam, hanya itu yang bisa
kulakukan. Bukan, lebih tepatnya aku hanya ingin diam.
“Ingin jalan-jalan?”
Pemuda itu sedikit memiringkan kepalanya menunggu
jawabanku. Senyumnya masih tersuguh dengan tulus untukku. Sungguh dia
benar-benar berhati besar, dia tetap bersikap baik padaku maupun Bagas.
Meskipun jelas-jelas aku tidak menerimanya karena Bagas.
“Baiklah”
###
Aku baru saja keluar dari kamar mandi ketika melihat Ira
sedang duduk manis menekuni sebuah buku di meja belajarku. Aku menyambar handuk
kecil yang tersampir pada tempat tidurku, menggosokkannya pada rambut basahku.
Setelah seharian tadi berjalan-jalan dengan Dhamar membuat tubuhku terasa
sangat lelah dan kurasa mandi dapat menyegarkan tubuhku.
Kudekati Ira sepertinya ia belum menyadari keberadaanku
karena ia terlalu fokus membaca. Semakin dekat kulihat ia memegang sebuah buku
yang lembarannya terlihat sedikit usang. Sebuah sinyal mendarat tepat
dikepalaku tanpa kuharapkan.
Gadis mungil dihadapanku ini teronjak kaget begitu aku
menarik buku yang tengah dibacanya. Ada sedikit raut marah dan kecewa
diwajahnya. Sesaat kami berdua terdiam, hanyut dalam pikiran masing-masing.
“Maaf”
Akhirnya Ira membuka suaranya, memecah keheningan yang
sempat tercipta yang justru membuatku semakin bungkam. Lidah ini terasa sangat
kelu, bukan hanya tak bertulang, otot-ototnya pun ikut lumpuh. Ah, apa yang
harus kukatakan?
“Kau menyukai Bagas?” ia bertanya lirih
Terbongkar sudah rahasiaku, rahasia yang selama ini
kusimpan rapat-rapat. Perasaan bersalah segera menyerbuku dari berbagai arah.
Ku akui aku pantas mendapatkannya. Akibat perbuatanku yang lancang mencintai
pacar sepupku sendiri. Tapi sungguh jika aku diberitahu bahwa suatu saat aku
akan mencintai kekasih sepupuku sendiri aku akan menolaknya dengan tegas.
“Mbak, aku bisa jelasin semuanya” nadaku tak kalah
kakunya dengan Ira, dia hanya tersenyum pahit.
Aku berjalan kearah tempat tidurku untuk duduk, gadis
mungil itu tidak mengikuti tapi duduk di kursi yang tadi dipakainya. Aku
menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menghembuskan gas CO2 itu
dengan gusar. Ira masih diam menungguku untuk berbicara, aku bisa melihat wajah
cantiknya terlihat begitu muram.
“Maafkan aku mbak, “ aku menggantung kalimatku. Aku
benar-benar tidak tahu harus memulai darimana.
“Aku..” dia menunggu dengan sabar, matanya terlihat
berkaca-kaca.
“Aku memang menyukai mas Bagas, tapi itu sudah jauh
sebelum kalian berpacaran” ia telah meneteskan air mata itu, aku sekuat tenaga
berusaha membuat suaraku tidak bergetar.
“Mbak nggak perlu khawatir, aku akan ngelupain mas Bagas”
aku mencoba tersenyum, bagaimana pun juga aku telah mengkhianati gadis
didepanku ini. Aku mencoba untuk tidak menangis. Perlahan Ira berdiri
mendekatiku, tangisnya semakin menjadi.
“Maafkan aku, Ren” Ira memelukku yang justru membuatku
tidak bisa menahan lagi air mata ini. Aku tak sanggup menjawabnya, yang
kulakukan hanya membalas pelukannya. Dari nada bicaranya ia terdengar sangat
menyesal. Tuhan.., kenapa Kau membiarkan semua ini terjadi?
Aku sudah memutuskan untuk melupakan Bagas, aku sudah
berencana untuk meninggalkan kehidupanku disini. Aku sudah memikirkan semuanya,
untuk fokus dengan skripsiku, untuk mulai membuka hati. Namun disaat aku sudah
memutuskan itu semua, justru rahasia ini terbongkar. Dan tidak hanya aku saja
yang terluka tapi juga semua orang.
Dada ini semakin sesak memikirkan itu semua.
“Mbak nggak perlu khawatir, aku bakal ngelupain mas
Bagas” kudengar Ira semakin menangis, ia semakin erat memelukku.
Cinta memang bermuka dua, bukan hanya terlihat baik dia
juga bisa menjadi jurang yang memisahkan hubungan persaudaraan. Dan jika aku
tidak segera membangun jembatan penghubung antara aku dan Ira, hubungan
keluarga ini bisa menjadi hancur.
Biarlah aku saja yang mengalah, dari awal memang aku yang
salah. Dan sudah kuputuskan, aku akan mengikuti Dhamar.
###
Tak lama lagi kisahku ini akan selesai, aku tinggal
membuat akhir dari cerita cinta ini. Jariku sibuk menari diatas tuts-tuts
keyboard menyalurkan ide-ide dari dalam otakku. Akhir-akhir ini aku sedang
banyak mendapatkan ide untuk akhir ceritaku.
Akhir cerita ini akan menjadi bahagia kurasa.
“Haruskah aku menunggumu?” seseorang masuk kedalam
ruanganku, berdiri disamping mejaku sambil menumpukan kedua telapak tangannya
di meja.
“Hm..” dia menghela nafas jengah.
“Berapa lama lagi aku harus menunggumu?” dia mendekatiku,
tepatnya disampingku.
“Entahlah..”
Dia lalu mengetukkan jari-jarinya dimejaku, mungkin
berpikir. Dari ekor mataku aku dapat melihat ia mengambil sesuatu dari dalam
sakunya.
“Apakah ceritamu akan berakhir bahagia?”
“Hm..” aku hanya menggumam.
“Kau yakin?” aku hanya menggerakkan kepalaku dengan
gerakan ‘Kau tahu pasti apa yang ku inginkan’. Dia kembali menghela napas, ada
apa dengan orang ini?
“Berapa lama lagi aku harus menunggumu?” dia kembali
menanyakan pertanyaan tadi. Aku menoleh.
“Hm..baiklah, 5 menit lagi” ia mengangguk.
“5 menit lagi..” ia mengulangi kata-kataku untuk membuat
kesepakatan lalu melihat jam yang melingkar dipergelangan tangannya.
Setelah itu hening, aku tidak tahu apa yang
dilakukannnya. Yang aku tahu dia hanya berdiri menungguku. Sesekali ia kembali
mengetukkan jari-jarinya ke permukaan meja. Sudahlah, biarkan saja. Aku harus
segera menyelesaikan tulisanku ini.
“Ini sudah 5 menit Rena..” ia kembali melihat jam
tangannya dan mengeluarkan sesuatu yang tadi sempat dikeluarkannya.
“Hm..baiklah, Wisanggeni Dhamar Panuluh. I’m done.” aku menghentikan tulisanku pada
titik dan menoleh pemuda itu.
Dia menatapku dalam, ia seperti ingin mengatakan sesuatu.
Tapi untuk kesekian kalinya ia menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya
perlahan. Sebenarnya kenapa pemuda ini?
“Baiklah, kurasa aku sudah cukup lama menunggumu” aku
benar-benar tidak mengerti, kenapa ia begitu berbelit-belit?
“Sekarang saatnya..”
“Saatnya apa?” keningku berkerut bingung. Ia lalu
menyodorkan sebuah kotak kecil yang sedari tadi digenggamnya.
“Bukalah” aku hanya menuruti perkataannya. Kuambil kotak
kecil berwarna hijau itu, dari bentuknya yang elegan aku merasakan sesuatu yang
aneh. Dibenakku mulai timbul berbagai pertanyaan. Dan benar saja, saat aku
membuka kotak itu sebuah cincin menyembul keluar.
“Jika kau tidak keberatan, aku melamarmu..” dia menatapku
kembali. Jantungku berdegup kencang dan tubuhku seakan lemas. Aku terlalu shock dengan semua ini.
“Aku ingin mengikatmu, Rena..” pemuda itu berkata lirih
namun mantap.
“Kita bisa bertunangan dulu” lanjutnya. Ini semua terasa
seperti mimpi.
Dia benar, dia sudah terlalu lama menungguku. Jadi
sebenarnya tadi ia telah mempertanyakan kesungguhan hatiku. Sebenarnya aku
merasa senang, ada seseorang yang mencintaiku secara tulus, tapi apakah hatiku
telah menerimanya? Aku belum tahu secara pasti, apakah aku sudah melupakan
Bagas? Aku tidak ingin menyakiti orang ini untuk kedua kalinya jika nanti
hatiku ternyata bukan untuknya.
Dia telah menungguku selama tiga tahun ini, dan dia masih
setia menungguku hingga sekarang. Apakah ini memang takdir dari Tuhan? Apakah
dia memang untukku? Tanpa sadar aku meneteskan air mataku.
Jadi inilah rasanya, inilah yang dirasakan Ira tiga tahun
yang lalu hingga sekarang. Inilah yang dirasakan mereka ketika dicintai oleh
seseorang. Inilah hal yang selalu kudambakan sedari dulu. Betapa bodohnya
diriku tidak menyadari cinta mutlak pemuda di depanku.
Sekarang sudah saatnya aku mengakhiri penantiannya.
Sekarang sudah saatnya aku mengakhiri ceritaku yang bahagia ini.
Aku sudah mengatakan bukan? Cerita ini akan berakhir
bahagia...
Tamat
No comments:
Post a Comment