Tuesday, October 15, 2013

Cinta Yang Tak Mungkin

Hai-hai semuanya...! I'm back to you!

Saya mau berbagi cerita karangan saya hehe... Cerita ini terinspirasi dari lagunya si pemeran Lude di Perahu Kertas. Pasti tahu kan? Siapa lagi kalau bukan si kalem Elyzia, judulnya Cinta Yang Tak Mungkin. Berawal dari ketergila-gilaan itulah (?) tercipta karya amatir ini... Saya cuma mau berbagi dan kalau bisa kasih kriti dan sarannya ya..

Jadi sekarang langsung saja, selamat membaca!!!

CINTA YANG TAK MUNGKIN

Kupejamkan mata ini

Ku tertidur tanpa lelap
Tapi ku bermimpi
Kau jadi milikku

Alunan lagu ini masih setia menemaniku, tiap bait yang dilantunkan oleh Elyzia sangat pas dengan suasana hatiku saat ini. Entahlah, aku tidak tahu mengapa lagu yang dijadikan salah satu soundtrack Perahu Kertas ini begitu nyaman ditelingaku. Biasanya aku akan langsung menutup telinga atau menjauh dari lagu yang mellow seperti ini, ini berbeda.

Cintaku ini memang tak mungkin, aku tak mungkin bisa memiliki dirinya. Dirinya yang adalah pacar dari kakak sepupuku sendiri. Aku pun tak tahu kenapa pemuda itu bisa menarik hatiku, menautku tanpa memberi balasan. Aku cukup senang bisa mengenalnya dan menjadi salah satu orang yang dekat dengannya saat ini.

Setiap hari yang kulakukan hanyalah memandangnya dari kejauhan, yang kulakukan hanyalah mengaguminya. Ataupun menunggunya untuk menemuiku, untuk mendengarkan semua ceritanya. Terkadang perasaan sesak menyerangku saat ia bercerita mengenai Ira, bercerita tentang betapa ia bahagia bersama sepupuku itu. Ataupun meminta pendapat mengenai kejutan yang akan diberikannya. Aku hanya bisa menyibukkan diriku dengan membaca buku ketika ia mulai bercerita.

Kegiatan diluar kuliah kami yang sama memudahkanku untuk bertemu dengannya. Untung saja Ira memiliki kegiatan yang berbeda dari kami, itu memudahkanku untuk menutupi perasaanku. Namun terkadang aku juga harus rela dijadikan tukang pos untuk mereka, memberikan kado atau sekedar menyampaikan salam.


Suaramu tetap bernyanyi
Walau sadar ku kian tak ada
Namun ku bahagia lagumu milikku

Walaupun hanya sekedar pendengar atau penyampai salamnya, aku bahagia menyadari bahwa ia membutuhkanku. Walaupun hanya dianggapnya sebagai teman dan adik sepupu, aku senang bisa ada didekatnya. Aku senang bisa turut andil dalam mengukir lengkungan di bibirnya.

Mendengar suaranya menjadi keinginanku setiap harinya, saat ia bercerita itu terdengar seperti kicauan burung di pagi hari yang membuatku semangat. Aku tahu ini terkesan berlebihan tapi aku tidak berbohong. Terkadang ia juga tak segan bernyanyi di depanku untuk menghiburku. Ira sungguh beruntung bisa memilikinya.

Aku masih ingat hari dimana ia menceritakan bahwa ia menyukai Ira, bahkan ia berniat untuk menyatakan perasaannya hari itu juga. Ia bercerita padaku dengan semangatnya yang disaat bersamaan juga merasa gugup dan takut akan ditolak.

Hatiku hancur saat itu juga hingga aku tidak bisa membendung air mataku untuk keluar. Aku benar-benar tidak bisa menahannya, ia tumpah begitu saja. Dia bertanya mengapa aku tiba-tiba menangis.

“Aku...aku bahagia Bagas, aku terharu sahabatku akan bersama sepupuku” jawabku mencoba tersenyum. Aku tahu ia sangat sanksi dengan jawabanku, namun aku terus tersenyum untuk meyakinkannya. Dia ikut tersenyum lalu ia mulai bernyanyi, lagu yang akan ia persembahkan untuk Ira. Ia bernyanyi dengan sungguh-sungguh, membuat air mataku tambah membanjir. Menyadari bahwa lagu itu bukan untukku dan juga sudah tidak ada lagi harapan untukku bisa bersamanya.


Indah senyumanmu
Tak kan bisa pudar
Makin indah dihatiku
Walau ku sadari...
Cinta yang tak mungkin jadi

Menyadari cintaku yang tak mungkin memang sangat menyakitkan. Menyadari bahwa cinta ini tak kan pernah berbalas. Dan menyadari bahwa senyumannya hanya untuk Ira, bukan untukku. Semua yang dilakukannya adalah hanya untuk membuat Ira tersenyum. Kebenaran memang benar-benar menyakitkan. Rasa sesak ini selalu memenuhi rongga dadaku, mendorongku untuk mengeluarkan segalanya. Namun itu tak bisa kulakukan.

Yang hanya bisa dilakukan oleh anak sastra sepertiku hanyalah menuangkan apa yang ia rasakan kedalam sebuah karya. Yang hanya bisa kulakukan adalah menuangkan rasa sesak ini kedalam tulisan yang membuatku menangis saat menulisnya dan juga menertawakan diriku sendiri saat membaca hasil karyaku. Menertawakan kebodohanku tetap yang mencintai seseorang yang telah menjadi milik orang lain, tertawa miris bahwa tulisan ini kupersembahkan padanya.

Aku memang sudah gila, benar-benar gila. Cinta benar-benar mempermainkan perasaanku. Seharusnya sejak awal tak kubiarkan rasa ini tumbuh. Seharusnya tak kubiarkan perasaaan ini singgah dihatiku. Dan seharusnya kuterima saja pernyataan cinta dari Dhamar, teman sastraku. Seseorang yang benar-benar mencintaiku.

Jika saja waktu itu aku menerimanya, mungkin saat ini aku sedang menikmati waktu tumbuhnya perasaanku padanya. Mungkin saja Dhamar yang membuatkan tulisan cinta untukku. Bukan puisi yang menyayat hati, bukan pula kisah tragedi cinta tapi sebuah cinta yang indah. Dimana setiap ceritanya mampu membuat jantung berdegup hebat dan membangunkan kupu-kupu didalam perutmu.

Namun seperti biasa penyesalan selalu datang terakhir. Menyesali keputusanku untuk menolaknya untuk membiarkan bibit cinta yang tak sengaja disemai Bagas tumbuh dengan lebatnya. Dan aku pun menyesali takdir yang mempertemukanku dengan Bagas dalam kegiatanku diluar kampus. Takdir ini malah menyiksaku dengan perasaan yang justru tumbuh setiap harinya.

“Maafkan aku, Dhamar. Tapi aku tak bisa”


Apapun yang kau ciptakan
Ku akan berjuang dapatkan
Jika kau bahagia
Aku semakin bahagia...

Hari-hari yang kulalui masih sama, dengan kegiatan yang sama, suasana sama, dan hari yang sama. Namun ada yang sedikit berbeda disini, Bagas menemuiku. Padahal jika dipikir fakultas sastra dan psikologi saling bertolak belakang. Maksudku, gedung fakultas kami saling membelakangi. Jika aku berada di utara, maka fakultas psikologi ada di paling ujung selatan.

Hmm...kukira hari ini tidak ada jadwal kegiatan luar kampus, lalu kenapa dia menemuiku. Kutanyakan hal itu padanya dan ia hanya menjawab ingin berbicara denganku. Berbicara? Bukankah bisa lewat telfon atau sekedar pesan singkat?

“Kamu lupa? Ah...Rena, kamu benar-benar adik sepupu yang tidak baik”

“Apa hubungannya?” tanyaku jengkel dengan penghinaannya. Jika aku adalah sepupu yang jahat maka sudah kurebut dari dulu dirimu, cih.

“Hari ini, ulang tahunnya!” dia memberi penjedaan sebelum menekankan kata ‘ulang tahunnya’. Aku masih bingung, sungguh aku tidak tahu siapa yang dimaksud dengan ‘nya’. Dia hanya diam menunggu reaksi ku, dapat kulihat ia sangat kesal dengan kelambatan koneksi otakku. Entahlah.

Kembali kepersoalanku kawan, aku masih menerka siapa yang dimaksud dengan ‘nya’. Aku mulai mengumpulkan daftar nama teman dekat kami untuk ku analisis.  Anif, tapi sepertinya kami baru saja mengerjainya saat ulang tahunnya sebulan yang lalu. Dhamar, ayolah dia baru berulang tahun di penghujung tahun ini. Dian, kurasa juga bukan.

Ah...sepertinya aku tahu yang dimaksud pemuda ini. Tentu saja ia memanggilku adik sepupu yang tidak baik. Pemuda itu mulai jengah menungguku, akhirnya ia mengucapkan nama itu tepat saat aku membuka mulutku.

“Ira”

Dia tersenyum, terlihat jelas dimatanya bahwa semakin hari ia semakin mencintai gadis itu. Dadaku kembali sesak melihat mata yang begitu berbinar itu, terlihat semakin berbinar ketika ia menyatakan ingin memberi kejutan Ira. Kenyataan memang selalu pahit, melebihi pahitnya memakan daun sirih. Jika daun sirih pahit, kenapa orang dulu suka sekali menyirih?


Indahnya wajahmu
Tak kan pernah sirna
Makin terang dihatiku
Walau kusadari
Cinta yang tak mungkin jadi

Suasana canggung jelas sedang melingkupiku saat ini, sungguh sangat mengganggu. Ah, kulihat dari ekor mataku pemuda itu sedang mencuri-curi pandang padaku. Rasanya semakin tersudut saja. Aku mencoba menikmati minuman yang sudah ku pesan untuk membunuh waktu dan menyingkirkan selambu gelap bernama kikuk sambil menunggu Bagas, orang yang mengumpulkanku bersama orang ini.

“Jadi hari ini Ira ulang tahun?”

Akhirnya ia membuka suara, sedikit terkejut karena aku sedang berusaha memecah rasa minumanku. Mencoba memisah zat-zat rasa apa saja yang ada pada cairan ini. Aku hanya mengangguk dan berdeham menjawab pertanyaan itu sambil berusaha menelan cairan itu berat. Ia tersenyum dengan tatapan geli, cih...aku menganggapnya sedang menertawakanku.

“Jadi, bulan depan kau sudah mulai mengerjakan skripsi?” tanya Dhamar mencoba mencairkan suasana.

“Hm..kau juga”

“Kira-kira kau ingin mengambil tema apa?” dia bertanya sambil menumpukan kedua tangannya  di meja. Menyamankan posisinya sambil menatapku.

“Entahlah, tentu saja tidak jauh dari sastra. Aku sendiri berencana untuk menganalisis hubungan sastra dengan kehidupan masyarakat kita, aku ingin pergi dari sini” aku sedikit menggumam saat mengucapkan kalimat terakhir.

Dia hanya diam, seolah menyelami apa yang ada dibenakku.
“Pergi?”

“Hm..aku ingin mencari suasana baru untuk menulis skripsiku sekaligus mencari ide untuk tema yang kuambil tadi” aku menggangguk pasti.

“Bagaimana jika jogja, aku bisa menemanimu. Aku juga ingin mendalami sastra jawa” aku hanya tersenyum menanggapinya.

Dhamar, pemuda itu meskipun sudah ku tolak ia tetap bersikap biasa padaku. Tentu itu sangat berbanding terbalik denganku yang selalu merasa canggung setiap berada didekatnya setelah kejadian yang mungkin sempat meretakkan hatinya. Terkadang aku berpikir untuk melupakan Bagas dan mengatakan pada Dhamar, apakah masih ada ruang dihatinya untukku singgah? Ah, kalimat terakhir itu sangat menggelikan. Lalu aku membayangkan ia terdiam mencoba mencerna kalimat yang kulontarkan padanya, lalu ia memelukku sambil berkata

“Selalu ada ruang dihatiku untukmu singgah, selalu. Bahkan kau bisa tinggal disana selamanya”

Kalimat itu lebih terdengar aneh, inilah yang kusebut keahlian anak sastra. Setiap kalimatnya selalu terdengar lebih dan berlebih, melankolis. Lalu aku menangis karena terharu dengan jawaban pemuda keturunan jawa tulen itu. Ah, yang benar saja.

Namun kenyataannya berbeda dengan bayanganku di atas. Melupakan Bagas justru lebih menyiksa. Perasaan cinta itu justru semakin mendarah daging. Ia justru terus berproduksi dan menghasilkan beribu hemoglobin cinta, mengalirkannya ke seluruh tubuhku. Bagaimana bisa aku menghancurkan hemoglobin itu?

Ah, dia baru saja hancur. Tak ku sangka akan semudah itu. Hanya dengan mendengar suara pesan masuk dihanphoneku, bayanganku tentang hemoglobin itu hancur. Ya, hanya bayangan.

“Ren, kamu harus segera kesini. Ira tiba-tiba datang ke tempat latihan kita. Rencana berubah, cepatlah datang!!!”

Itulah isi pesan masuk yang sempat menghancurkan bayanganku tadi. Dhamar melihatku.

“Rencana berubah Dhamar, ayo kita ke tempat latihan”
Pemuda itu hanya mengangguk makhfum. Ah, ini hanyalah sebuah rencana kejutan ulang tahun tetapi kenapa aku merasa ini seperti rencana untuk menangkap seorang teroris ataupun koruptor. Penuh pertimbangan. Ah, teroris cinta.


Meski ku tak bisa memiliki dirimu
Takkan ku berpaling pergi (berpaling pergi)
Makin ku mencintai ku lepas kau kekasih
Biar terbang tinggi cinta yang tak mungkin
Terbang tinggi

Disinilah sekarang aku berdiri, terperangkap dalam atmosfer yang benar-benar membuatku sulit bernafas.  Tempat ini sama sekali tidak menunjukkan fungsinya yang hakiki. Seharusnya ditempat seluas ini sangat cukup untuk meniupkan hawa segar walaupun hanya sedikit.

Pemandangan yang selalu kuhindari sekarang dengan agungnya terpampang di depanku. Bagas merangkul Ira, sebuah senyum bahagia terlukis jelas di wajahnya setelah sempat mengerjai gadisnya. Sebuah kejutan yang sangat umum namun bisa mengukir sebuah lengkungan pada bibir gadis itu.

Perlahan aku mundur dari posisiku, tentu saja menghindarkan diri dari pemandangan itu. Namun baru selangkah aku mundur, seseorang menahanku. Menggenggam tanganku dan dengan lancangnya mengaitkan jari jemarinya ke dalam buku-buku tanganku.

“Mencoba menghindar?”

Dhamar tersenyum padaku, aku hanya diam. Entahlah, aku tidak tahu harus berkata apa, lidahku kelu. Diam, hanya itu yang bisa kulakukan. Bukan, lebih tepatnya aku hanya ingin diam.

“Ingin jalan-jalan?”

Pemuda itu sedikit memiringkan kepalanya menunggu jawabanku. Senyumnya masih tersuguh dengan tulus untukku. Sungguh dia benar-benar berhati besar, dia tetap bersikap baik padaku maupun Bagas. Meskipun jelas-jelas aku tidak menerimanya karena Bagas.

“Baiklah”
###

Aku baru saja keluar dari kamar mandi ketika melihat Ira sedang duduk manis menekuni sebuah buku di meja belajarku. Aku menyambar handuk kecil yang tersampir pada tempat tidurku, menggosokkannya pada rambut basahku. Setelah seharian tadi berjalan-jalan dengan Dhamar membuat tubuhku terasa sangat lelah dan kurasa mandi dapat menyegarkan tubuhku.

Kudekati Ira sepertinya ia belum menyadari keberadaanku karena ia terlalu fokus membaca. Semakin dekat kulihat ia memegang sebuah buku yang lembarannya terlihat sedikit usang. Sebuah sinyal mendarat tepat dikepalaku tanpa kuharapkan.

Gadis mungil dihadapanku ini teronjak kaget begitu aku menarik buku yang tengah dibacanya. Ada sedikit raut marah dan kecewa diwajahnya. Sesaat kami berdua terdiam, hanyut dalam pikiran masing-masing.

“Maaf”

Akhirnya Ira membuka suaranya, memecah keheningan yang sempat tercipta yang justru membuatku semakin bungkam. Lidah ini terasa sangat kelu, bukan hanya tak bertulang, otot-ototnya pun ikut lumpuh. Ah, apa yang harus kukatakan?

“Kau menyukai Bagas?” ia bertanya lirih

Terbongkar sudah rahasiaku, rahasia yang selama ini kusimpan rapat-rapat. Perasaan bersalah segera menyerbuku dari berbagai arah. Ku akui aku pantas mendapatkannya. Akibat perbuatanku yang lancang mencintai pacar sepupku sendiri. Tapi sungguh jika aku diberitahu bahwa suatu saat aku akan mencintai kekasih sepupuku sendiri aku akan menolaknya dengan tegas.

“Mbak, aku bisa jelasin semuanya” nadaku tak kalah kakunya dengan Ira, dia hanya tersenyum pahit.

Aku berjalan kearah tempat tidurku untuk duduk, gadis mungil itu tidak mengikuti tapi duduk di kursi yang tadi dipakainya. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menghembuskan gas CO2 itu dengan gusar. Ira masih diam menungguku untuk berbicara, aku bisa melihat wajah cantiknya terlihat begitu muram.

“Maafkan aku mbak, “ aku menggantung kalimatku. Aku benar-benar tidak tahu harus memulai darimana.

“Aku..” dia menunggu dengan sabar, matanya terlihat berkaca-kaca.

“Aku memang menyukai mas Bagas, tapi itu sudah jauh sebelum kalian berpacaran” ia telah meneteskan air mata itu, aku sekuat tenaga berusaha membuat suaraku tidak bergetar.

“Mbak nggak perlu khawatir, aku akan ngelupain mas Bagas” aku mencoba tersenyum, bagaimana pun juga aku telah mengkhianati gadis didepanku ini. Aku mencoba untuk tidak menangis. Perlahan Ira berdiri mendekatiku, tangisnya semakin menjadi.

“Maafkan aku, Ren” Ira memelukku yang justru membuatku tidak bisa menahan lagi air mata ini. Aku tak sanggup menjawabnya, yang kulakukan hanya membalas pelukannya. Dari nada bicaranya ia terdengar sangat menyesal. Tuhan.., kenapa Kau membiarkan semua ini terjadi?

Aku sudah memutuskan untuk melupakan Bagas, aku sudah berencana untuk meninggalkan kehidupanku disini. Aku sudah memikirkan semuanya, untuk fokus dengan skripsiku, untuk mulai membuka hati. Namun disaat aku sudah memutuskan itu semua, justru rahasia ini terbongkar. Dan tidak hanya aku saja yang terluka tapi juga semua orang.

Dada ini semakin sesak memikirkan itu semua.

“Mbak nggak perlu khawatir, aku bakal ngelupain mas Bagas” kudengar Ira semakin menangis, ia semakin erat memelukku.

Cinta memang bermuka dua, bukan hanya terlihat baik dia juga bisa menjadi jurang yang memisahkan hubungan persaudaraan. Dan jika aku tidak segera membangun jembatan penghubung antara aku dan Ira, hubungan keluarga ini bisa menjadi hancur.

Biarlah aku saja yang mengalah, dari awal memang aku yang salah. Dan sudah kuputuskan, aku akan mengikuti Dhamar.

###

Tak lama lagi kisahku ini akan selesai, aku tinggal membuat akhir dari cerita cinta ini. Jariku sibuk menari diatas tuts-tuts keyboard menyalurkan ide-ide dari dalam otakku. Akhir-akhir ini aku sedang banyak mendapatkan ide untuk akhir ceritaku.

Akhir cerita ini akan menjadi bahagia kurasa.

“Haruskah aku menunggumu?” seseorang masuk kedalam ruanganku, berdiri disamping mejaku sambil menumpukan kedua telapak tangannya di meja.

“Hm..” dia menghela nafas jengah.

“Berapa lama lagi aku harus menunggumu?” dia mendekatiku, tepatnya disampingku.

“Entahlah..”

Dia lalu mengetukkan jari-jarinya dimejaku, mungkin berpikir. Dari ekor mataku aku dapat melihat ia mengambil sesuatu dari dalam sakunya.

“Apakah ceritamu akan berakhir bahagia?”

“Hm..” aku hanya menggumam.

“Kau yakin?” aku hanya menggerakkan kepalaku dengan gerakan ‘Kau tahu pasti apa yang ku inginkan’. Dia kembali menghela napas, ada apa dengan orang ini?

“Berapa lama lagi aku harus menunggumu?” dia kembali menanyakan pertanyaan tadi. Aku menoleh.

“Hm..baiklah, 5 menit lagi” ia mengangguk.

“5 menit lagi..” ia mengulangi kata-kataku untuk membuat kesepakatan lalu melihat jam yang melingkar dipergelangan tangannya.

Setelah itu hening, aku tidak tahu apa yang dilakukannnya. Yang aku tahu dia hanya berdiri menungguku. Sesekali ia kembali mengetukkan jari-jarinya ke permukaan meja. Sudahlah, biarkan saja. Aku harus segera menyelesaikan tulisanku ini.

“Ini sudah 5 menit Rena..” ia kembali melihat jam tangannya dan mengeluarkan sesuatu yang tadi sempat dikeluarkannya.

“Hm..baiklah, Wisanggeni Dhamar Panuluh. I’m done.” aku menghentikan tulisanku pada titik dan menoleh pemuda itu.

Dia menatapku dalam, ia seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi untuk kesekian kalinya ia menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Sebenarnya kenapa pemuda ini?

“Baiklah, kurasa aku sudah cukup lama menunggumu” aku benar-benar tidak mengerti, kenapa ia begitu berbelit-belit?

“Sekarang saatnya..”

“Saatnya apa?” keningku berkerut bingung. Ia lalu menyodorkan sebuah kotak kecil yang sedari tadi digenggamnya.

“Bukalah” aku hanya menuruti perkataannya. Kuambil kotak kecil berwarna hijau itu, dari bentuknya yang elegan aku merasakan sesuatu yang aneh. Dibenakku mulai timbul berbagai pertanyaan. Dan benar saja, saat aku membuka kotak itu sebuah cincin menyembul keluar.

“Jika kau tidak keberatan, aku melamarmu..” dia menatapku kembali. Jantungku berdegup kencang dan tubuhku seakan lemas. Aku terlalu shock dengan semua ini.

“Aku ingin mengikatmu, Rena..” pemuda itu berkata lirih namun mantap.

“Kita bisa bertunangan dulu” lanjutnya. Ini semua terasa seperti mimpi.

Dia benar, dia sudah terlalu lama menungguku. Jadi sebenarnya tadi ia telah mempertanyakan kesungguhan hatiku. Sebenarnya aku merasa senang, ada seseorang yang mencintaiku secara tulus, tapi apakah hatiku telah menerimanya? Aku belum tahu secara pasti, apakah aku sudah melupakan Bagas? Aku tidak ingin menyakiti orang ini untuk kedua kalinya jika nanti hatiku ternyata bukan untuknya.

Dia telah menungguku selama tiga tahun ini, dan dia masih setia menungguku hingga sekarang. Apakah ini memang takdir dari Tuhan? Apakah dia memang untukku? Tanpa sadar aku meneteskan air mataku.

Jadi inilah rasanya, inilah yang dirasakan Ira tiga tahun yang lalu hingga sekarang. Inilah yang dirasakan mereka ketika dicintai oleh seseorang. Inilah hal yang selalu kudambakan sedari dulu. Betapa bodohnya diriku tidak menyadari cinta mutlak pemuda di depanku.

Sekarang sudah saatnya aku mengakhiri penantiannya. Sekarang sudah saatnya aku mengakhiri ceritaku yang bahagia ini.


Aku sudah mengatakan bukan? Cerita ini akan berakhir bahagia...

Tamat

No comments:

Post a Comment